Sukses

Lifestyle

Ibu Lebih Sayang Adik Daripada Aku

Cerita ini terjadi saat aku berusia delapan tahun. Waktu itu, aku punya adik berusia dua tahun. Sebagai anak kecil, aku tentu senang diperhatikan dan dimanja, tetapi setelah adikku lahir, aku merasa perhatian orang tuaku berkurang, terutama ibu. Ibu lebih sering memintaku melakukan banyak hal seorang diri. Ibu tidak lagi menyuapiku jika aku ngambek tidak mau makan. Aku jadi jarang bermanja-manja karena ibu lebih sering memberikan perhatian pada adikku.

Sedikit demi sedikit timbul rasa cemburuku pada adik. Aku menganggap ibu pilih kasih dan lebih sayang pada adikku. Siang dan malam ibu lebih memberi perhatian pada adikku. Setiap hari dimandikan, sedangkan aku mandi sendiri. Setiap hari disuapi, sedangkan aku sudah tidak pernah disuapi. Jika adikku menangis, maka ibu akan melihat keadaan adik sesegera mungkin dan meninggalkanku. Seperti anak-anak pada umumnya, aku merasa adikku telah mengambil perhatian ibu, dan aku kesal.

Menurut teman-teman sekolahku, ibuku pilih kasih, tidak membagi kasih sayang secara adil dan rata. Makna keadilan bagiku saat itu, semua harus sama. Jika adikku dimandikan, seharusnya aku juga. Jika adik disuapi, seharusnya aku juga. Maka aku beranikan diri untuk menanyakan hal ini langsung pada ibu.

“Bunda, apa benar bunda pilih kasih dan lebih sayang dengan adik?” begitu pertanyaanku.

Aku melihat perubahan wajah kaget, tetapi ibuku langsung tersenyum tipis, sepertinya dia mengerti bahwa anak sulungnya sedang merasakan masa ‘pilih kasih’ seperti anak-anak pada umumnya.

“Seorang ibu tidak bisa pilih kasih, Putri, ibu sayang kamu dan adik,” ujar ibu sambil mengelus sayang rambutku.

Kemudian aku menjelaskan makna adil dan pilih kasih versiku, bagaimana aku merasa ‘diabaikan’ dan harus melakukan banyak hal seorang diri.

Ibuku lalu menjawab, “Kenapa ibu memandikan dan menyuapi adik? Karena dia belum bisa mandi dan makan sendiri. Sedangkan kakak, kakak sudah bisa melakukannya dengan baik,” ujarnya, “Dulu, waktu kakak sebesar adik, ibu juga selalu memandikan dan menyuapi kakak. Nanti, kalau adik sudah sebesar kakak sekarang, dia juga akan makan dan mandi sendiri,” lanjut ibu dengan senyum tetap mengembang di wajahnya.

Tetap saja aku tidak puas dengan jawaban ibu, menurutku, itu tidak adil, tidak sama.

“Putri, adil itu tidak harus sama rata,” ujar ibu. “Adil adalah membagi beberapa hal sesuai dengan porsi dan kemampuannya. Misalnya.. porsi makan kakak dan adik. Kalau ibu memberi makan kakak dengan porsi yang sama dengan adik, kakak kenyang tidak?” tanya ibu.

Aku menggeleng. Bagaimana aku bisa kenyang dengan semangkuk kecil bubur tim atau nasi.

“Nah, kalau adik diberi makan dengan porsi kakak bagaimana?” tanya ibu sekali lagi.

“Porsinya terlalu banyak, perut adik kan masih kecil,” jawabku dengan polos.

Senyum ibu semakin lebar. “Itulah yang disebut adil. Mungkin apa yang kamu lihat tidak sama, beratnya berbeda, bentuknya tidak sama, ukurannya tidak sama, tetapi sesuai dengan porsi yang dibutuhkan,” ujar ibu.

Aku mulai mengerti, bahwa beberapa jenis adil tidak bisa semuanya sama.

“Jadi, ibu tidak pilih kasih?” tanyaku sekali lagi, meyakinkan.

Ibu langsung memelukku dan mencium keningku, “Seorang ibu tidak bisa pilih kasih, dia menyayangi anak-anaknya dengan kasih sayang yang sama, walaupun mungkin caranya berbeda,”

Berada dalam pelukan ibu membuatku percaya bahwa ibu menyayangiku. Hingga tahun demi tahun berlalu dan apa yang dikatakan ibu benar. Saat seusiaku, adik tidak lagi dimandikan atau disuapi. Semakin dewasa, aku semakin tahu bahwa ibu tetap menyayangiku dan adikku.

Jika suatu saat nanti, aku sudah memiliki buah hati, dan dia menanyakan tentang pilih kasih atau makna keadilan sepertiku dulu, sepertinya aku akan meminjam jawaban ibu :)

(vem/yel)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading